Bolehkah kreditur memakai barang yang diagunkan oleh debitur dalam syariah Islam ? Bagaimana gadai dalam islam?

MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN, BOLEHKAH ?

Oleh : Developer Property Syariah

MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN, BOLEHKAH ?


TANYA :

Ada kasus, seseorang membeli tanah atau rumah secara kredit, lalu dia menjadikan kendaraannya sebagai jaminan atas hutangnya. Di kasus lain, ada pula seseorang meminjam uang dan sebagai jaminan atas hutangnya, dia mengagunkan kendaraannya. 


Pertanyaannya, bolehkah si penerima agunan yakni kreditor, memanfaatkan barang agunan tersebut ?


JAWAB :

Definisi secara syar’i dari gadai adalah:


جَعْل عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا أَوْ مِنْ ثَمَنِهَا إِذَا تَعَذَّرَ الْوَفَاءُ


“Menjadikan suatu ‘ain maliyyah (dzat harta) sebagai jaminan hutang, yang akan dibayar hutang itu dengan dzat harta tersebut atau dari harga dzat harta tersebut ketika tidak mampu membayar hutang.” [Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Wuzarât al-Awqâf wa al-Syu-ûn al-Islâmiyyah, 1427), Juz 23, hlm. 175.]


Gadai hukumnya boleh, Allah berfirman :


وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ


“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al Baqarah: 283)


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ


“Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran yang ditangguhkan, lalu beliau menggadaikan baju besinya.” [Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 3, hlm. 56.]


Terkait hukum memanfaatkan barang gadai atau agunan, adakalanya boleh, adakalanya haram. Ketentuannya sebagai berikut :


Pertama, jika yang memanfaatkan barang gadai atau agunan tersebut adalah râhin (yang menggadaikan barang) maka hukumnya boleh, karena barang yang diagunkan adalah miliknya, begitu juga manfaatnya dan hak untuk memanfaatkan barang agunan adalah milik penggadai.


Kebolehan ini dengan syarat: 1) tidak merusak barang yang diagunkan, 2) tidak mengurangi zatnya atau menghilangkan barang tersebut, dan 3) tidak melakukan safar dengannya, kecuali diizinkan murtahin (penerima agunan). Namun jika yang diagunkan adalah tanah, maka râhin tidak berhak membuat bangunan di atas tanah tersebut juga tidak berhak bercocok tanam di atasnya, kecuali atas izin murtahin. [Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad Fi al-Fiqh al-Syafi’i, Jilid 3, hlm. 385.]


Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW :


لَا يُغْلَقُ الرَّهْنُ، الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهْنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ


“Barang gadaian tidak ditutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Bagi dia pertumbuhan harta tersebut, dan menjadi tanggungannya rusak atau berkurangnya harta tersebut.” (HR. al-Baihaki dan Al-Hakim, al-Hakim menyatakan isnadnya shahih).


Kedua, jika yang memanfaatkan barang gadai adalah murtahin (penerima agunan/Kreditor/pemberi pinjaman) perlu di rinci sebagai berikut :


a) Jika hutangnya adalah qordh (hutang pinjaman), misalnya seseorang meminjam uang sebesar Rp 100 juta untuk satu tahun lalu ia menggadaikan kendaraannya, dan pemanfaatan barang gadai oleh murtahin tersebut disyaratkan/disebutkan dalam akad, maka itu hukumnya haram, karena mengambil manfaat dari qordh adalah riba.


Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:


كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا


“Setiap qordh yang membawa keuntungan adalah riba.” 


Redaksi tersebut ada dalam musnad al Harits (1/500), hadits ini sanadnya dha’if, namun sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, para ulama sepakat bahwa tiap pinjam meminjam (yang terkategori qordh) jika di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria atau penambahan nominal, itu termasuk riba.


Namun jika pemanfaatan barang gadai oleh murtahin tidak disebut/disyaratkan dalam akad, lalu rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan barang gadai tersebut maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama. Kalangan Syafi’iyyah membolehkannya, sementara kalangan Malikiyyah, Hanabilah, sebagian Shahabat dan Tabi’in, tetap mengharamkannya, ini juga pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’ Ats-Tsani, Cet. V. (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), hlm. 341.


Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Ishaq, dia berkata: “aku bertanya kepada Anas bin Malik, diantara kami ada yang menghutangi harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberikan hadiah kepadanya, maka Anas berkata, telah bersabda Rasulullah Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam:


إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلا يَرْكَبْهَا وَلا يَقْبَلْهُ، إِلا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ


“Jika seseorang dari kamu memberi hutang dan penghutang memberinya hadiah, atau menawarkan tunggangan, maka janganlah ia menaikinya dan menerimanya, kecuali apabila antara dia (yang menghutangi) dan dia (yang dihutangi) sudah terbiasa dengan yang demikian (saling memberi hadiah) itu sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah).


Dari Abu Burdah bin Abi Musa, “Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan Abdullah bin Salam, ia berkata,


إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا


“Kamu hidup di dalam sebuah negeri dimana riba tersebar luas. Karena itu, jika salah seorang berhutang kepadamu dan ia memberikan sekeranjang rumput atau jewawut atau jerami, janganlah kamu terima, karena itu adalah riba” (HR. al-Bukhari).


b) Jika hutangnya bukan qordh, misalnya harga barang yang belum lunas, sewa rumah yang belum dibayar, atau apapun hutang selain pinjaman, maka boleh bagi rahin untuk mengizinkan siapapun, termasuk murtahin, untuk memanfaatkan barang gadai tersebut. Ini karena barang yang digadaikan itu adalah milik rahin baik dzat maupun manfaatnya, sehingga dia boleh memanfaatkannya atau mengizinkan orang lain, termasuk murtahin, untuk memanfaatkannya, tidak ada dalil yang mengecualikan murtahin. Hal ini juga tidak bisa dikatakan riba karena tidak sesuai dengan fakta riba dan tidak temasuk barang-barang yang dikategorikan syariat sebagai riba. Empat madzhab menyatakan kebolehan ini, hanya saja Malikiyyah mensyaratkan bahwa pembolehan tersebut mestilah disyaratkan di awal saat akad, dan batasan waktunya jelas. Inilah yang kami rajihkan dalam masalah ini.[]


Wallâh a'lam wa ahkam.


Developer Property Syariah

#RealProject #RealSyariah

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *