BOLEHKAH PEMBELI MEMBATALKAN SEPIHAK AKAD JUAL BELINYA DALAM SYARIAH ISLAM?

BOLEHKAH PEMBELI MEMBATALKAN SEPIHAK AKAD JUAL BELINYA DALAM SYARIAH ISLAM?

Oleh : Developer Property Syariah

TANYA :
Ada kasus, seseorang pembeli sudah berakad dengan penjual (developer) untuk membeli unit kapling. Sudah dilakukan kesepakatan jual beli secara kredit selama 5 tahun, bahkan sudah dilakukan AJB secara resmi dan legal. Karena ada kesulitan pembayaran angsuran, dengan berbagai alasan, maka di tahun ke 2, pihak pembeli membatalkan sepihak jual beli tsb. Lalu dia menuntut dikembalikan harga yang sudah dibayarkan ke penjual (developer) baik DP atau pun angsurannya. Jika belum direfund, pembeli menganggap bahwa si penjual (developer) memiliki hutang padanya, dan memframing negatif serta mengopinikan di sosial media bahwa penjualnya dzalim karena punya utang dan gak kunjung dibayar. Sementara, penjual kapling belum pernah menyetujui permintaan dan menyepakati pembatalan atas akad dengan si pembeli tersebut. Bolehkah pembeli membatalkan sepihak akad jual belinya ?


JAWAB :
Akad jual beli dengan semua jenisnya merupakan akad yang sifatnya lâzim. Maknanya akad jual beli itu mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembatalannya harus dengan kesepakatan kedua pihak, yakni penjual dan pembeli.

Jika salah satu pihak membatalkannya, sementara pihak yang lain tidak setuju maka akad jual beli itu tidak dapat dibatalkan. Tentu saja, pembatalan akad jual beli itu selama hukum akad itu masih berjalan. Adapun jika sudah berakhir, tidak ada lagi hak dan kewajiban yang masih berlaku bagi penjual dan pembeli, maka akad jual beli itu tidak dapat dibatalkan.

Dalam hal ini jual beli secara kredit, as-salam, al-istishnâ’, al-murâbahah secara kredit (tentu yang memenuhi ketentuan al-murâbahah yang syar’iy), dapat dibatalkan selama hak dan kewajiban dari akad jual beli itu belum selesai.

Jika sepakat dibatalkan, maka pembeli mengembalikan barang kepada penjual dan penjual mengembalikan kepada pembeli harga yang sudah dibayar.  Jika fisik barangnya masih ada dan tidak berubah secara signifikan maka barang itu dikembalikan. Jika tidak, maka dikembalikan barang yang semisal atau jika tidak ada maka dikembalikan nilainya. Begitu pula harga yang sudah dibayarkan. 

Untuk kasus yang ada di pertanyaan, muamalahnya adalah jual beli secara kredit dan angsuran. Akad jual beli ini bersifat lâzim yakni mengikat sehingga pembatalannya harus dengan kesepakatan atau keridhaan kedua pihak, yakni penjual dan pembeli. Akad ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Dalam kasus ini, si pembeli membatalkannya secara sepihak. Penjual tidak pernah menyetujui. Maka akad jual beli itu tidak batal. Si pembeli tetap punya kewajiban untuk membayar harga yang diutangnya. Penjual tetap berhak atas harga yang diutang itu. 

Dalam keadaan di pertanyaan, si pembeli tetap ngotot membatalkan akad itu, maka secara syar’iy selama penjual tidak menyetujuinya maka tidak dapat dibatalkan. Dalam hal ini ada beberapa opsi yang mungkin dilakukan saat ini:

1- Penjual menyetujui pembatalan itu, dan kemudian dibicarakan skema pengembalian harganya.

2- Terhadap pembeli, penjual dapat “memberi pelajaran” dengan misalnya melakukan somasi terhadap pembeli itu. Ini jika memungkinkan. Diantaranya bukan dengan maksud untuk membawanya ke pengadilan, tetapi untuk membuat si pembeli itu dapat duduk dan melakukan pembicaraan yang positif dan konstruktif untuk menyelesaikan masalah tersebut.

3- Jika penjual tetap tidak menyetujui, sementara pembeli sudah tidak mau membayar angsuran, tentu saja akad itu menjadi macet. Persoalan ini ketika syariah diterapkan dan ada qadhi maka menjadi mudah diselesaikan. Namun sekarang, hal itu tidak bisa dilakukan. Ada opsi membawanya ke pengadilan, tentu jika hal itu mungkin dilakukan dan masuk hitungan. Jika tidak bisa atau tidak dipilih opsi ini, maka diselesaikan langsung antara pembeli dan penjual. Caranya adalah, kavling itu dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi sisa angsuran dan sisanya diambil oleh pembeli yang merupakan pemilik kavling itu. Penjualan kavling itu semestinya dilakukan oleh pembeli (pemilik kavling) itu. Atau, penjual (penjual kavling) membantu menjualkannya.

Ini beberapa opsi yang mungkin bisa diambil. Dan ini yang kami rajihkan dalam masalah ini.[]

Wallâh a’lam wa ahkam. 

Developer Property Syariah
#RealProject #RealSyariah


 

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *