Jika cicilan macet pada pembeli properti syariah, bagaimana jalan keluar bagi developer, bolehkah developer menjual rumah itu?

BOLEHKAH PENJUAL MENJUAL KEMBALI LAHAN YANG TELAH DIJUALNYA KEPADA PEMBELI SECARA KREDIT,  SEMENTARA SI PEMBELI SANGAT SUSAH DIHUBUNGI DAN BAHKAN TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA ?

Oleh : Developer Property Syariah



TANYA :

Ada penjual lahan telah berakad jual beli secara kredit kepada pembeli selama 5 tahun. Setelah DP dibayar, dan angsuran sudah berjalan, di bulan ke 6 si pembeli tidak lagi membayar angsuran dan sangat susah dihubungi. Kejadian seperti ini terus berjalan dan telah berlangsung hingga bertahun tahun kemudian. Ada hak atas angsuran harga jual beli tersebut selama 4,5 tahun yang belum dibayar oleh si pembeli sementara lahan tersebut sudah diakadkan jual beli dengannya. Bagaimana cara penjual mengambil hak hartanya yang belum dibayar oleh pembeli tersebut ?


JAWAB :

Dalam jual beli secara kredit dan angsuran, pembeli menjadi debitur (al-madîn) dan penjual menjadi kreditur (ad-dâ`in). Yakni pembeli memiliki utang (dayn) kepada penjual sebesar harga barang secara kredit itu. Barang yang dijual secara kredit harus diserahkan sepenuhnya kepada pembeli sehingga kepemilikan atas barang itu berpindah sepenuhnya kepada pembeli. Syarat apapun yang membatasi kepemilikan si pembeli atas barang itu, seperti syarat barang itu diagunkan sebagai agunan atas transaksi jual beli secara kredit itu, atau syarat bahwa pembeli tidak boleh memindahkan kepemilikan atas barang itu kepada pihak lain sebelum lunas baik dengan menjualnya, menghibahkannya, dan sebagainya. Syarat tersebut bathil, meski akad jual belinya sah.

Jadi hubungan antara penjual dan pembeli dalam hal ini adalah utang piutang (al-mudâyanah). Terhadapnya berlaku hukum-hukum seputar utang piutang.


Jika kemudian utang itu macet, yakni pembeli tidak mampu membayar utangnya atau angsuran utangnya, maka: 


1. Jika pembeli itu sampai tingkat kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya maka pembeli sebagai kreditur (ad-dâ`in) wajib memberikan kelonggaran sampai pembeli itu berkelapangan. Jika kesulitannya tidak sampai tingkat itu, penjual mandub hukumnya memberikan kelonggaran kepada pembeli itu. Dalam semua kondisi itu, kreditur dianjurkan yakni mandub hukumnya, untuk memutihkan utang itu seluruhnya atau sebagiannya. Semua itu dijelaskan di QS al-Baqarah [2]: 280.


2. Jika penjual tidak memberi kelonggaran, tentu ini boleh jika debitur itu tidak sampai tingkat kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ada dua kemungkinan:


Pertama, ada agunan, maka pembeli (al-madîn) diharuskan menjual agunan itu untuk membayar utangnya. Dan jika dia tidak dapat menjualnya sendiri, maka dapat diwakilkan kepada kreditur. Kreditur menjualnya secara wajar. Hasilnya digunakan untuk melunasi utang yang ada. Jika ada sisa maka dikembalikan kepada pembeli sebagai debitur. Jika masih kurang, maka kreditur yakni si penjual meminta kekurangannya itu kepada debiturnya yakni si pembeli.


Kedua, tidak ada agunan. Dalam kondisi ini, jika syariah diterapkan penyelesaiannya mudah, yaitu kreditur (penjual dalam hal ini) dapat mengadukan debitur (pembeli dalam hal ini) kepada qadhi. Selanjutnya qadhi mewajibkannya untuk membayar utangnya. Jika dia enggan atau tidak ada uang maka qadhi mewajibkannya untuk menjual harta miliknya. Jika dia tidak mau, maka qadhi dapat menjual paksa harta miliknya, selain harta untuk memenuhi kebutuhan pokok, dan hasilnya untuk membayar utang itu.

Namun dalam kondisi saat ini hal itu tidak dapat dilakukan. Dan jika memperkarakannya ke pengadilan boleh jadi malah lebih banyak ruginya. Maka dapat dilakukan langkah berikut: 


Pertama diusahakan untuk menghubungi debitur (pembeli) itu atau keluarganya sampai jangka waktu yang dirasa cukup, bisa setahun atau dua tahun atau kurang, untuk setidaknya menduga kuat memang tidak bisa dihubungi. Di pertanyaan disebutkan bahwa debitur (pembeli) susah dihubungi dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Jika debitur (pembeli) dan keluarganya tidak dapat dihubungi, termasuk tidak dapat ditemui, maka kreditur dapat menjual lahan itu secara wajar. Hal itu karena itulah satu-satunya jalan agar kreditur (penjual) dapat mendapatkan haknya. Dan barang (yakni lahan) itu meski tidak ebrada dalam kekuasaan kreditur (penjual) namun masih dapat diakses secara fisik dan legalnya, sehingga dapat dijual. Dalam hal ini perlu diperhatikan dan diantisipasi aspek-aspek legal formal agar tidak timbul masalah di kemudian. Hasil penjualan itu, pembeli dapat mengambilnya sesuai jumlah tunggakan utang. Jika ada sisa, maka dikembalikan kepada debitur itu. Jika tidak bisa dilakukan maka disimpan terlebih dahulu sembari diusahakan untuk menghubunginya. Jika setelah sekian jangka waktu tetap tidak dapat dihubungi dan kreditur (penjual) itu menduga kuat atau bahkan yakin bahwa debitur itu tidak dapat dihubungi, maka kreditur (penjual) dapat menshadaqahkannya atas nama pemiliknya yaitu debitur (pembeli) itu.


Dalam hal itu syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah di Majmû’a al-Fatâwa (29/321) menyatakan: 

[Jika seseorang memegang barang hasil rampasan, pinjaman, titipan, atau barang gadai, dan dia putus asa untuk bisa melacak posisi pemilik barang tersebut saat ini, maka menurut pendapat yang benar, barang tersebut disedekahkan atas nama pemiliknya. Terus-menerus memegang harta milik orang yang tidak bisa diharapkan kembali mengambil barangnya adalah tindakan yang tidak bermanfaat. Bahkan, tindakan ini menyebabkan barang tersebut akhirnya rusak sia-sia atau dikuasai oleh orang-orang yang zalim.


Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud membeli seorang budak perempuan. Ketika beliau masuk rumah untuk mengambil uang lalu beliau keluar, ternyata beliau tidak lagi menjumpai si penjual. Akhirnya, uang yang sedianya digunakan untuk membeli budak tersebut beliau sedekahkan kepada sejumlah fakir miskin, sambil beliau berdoa, “Ya Allah, pahala sedekah ini adalah untuk si pemilik budak”.


Demikian pula, ketika sebagian tabiin ditanya mengenai orang yang melakukan ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan), lalu dia bertobat setelah semua orang yang ikut berjihad bubar ke rumahnya masing-masing, (maka tabiin tersebut) memberikan fatwa agar harta itu disedekahkan atas nama semua orang yang telah turut berjihad. Fatwa ini disetujui oleh para sahabat dan tabiin yang mengetahuinya, semisal Muawiyah dan para ulama negeri Syam yang ada di zaman itu.

Walhasil, dalam syariat, orang yang tidak diketahui lagi keberadaannya memiliki status seperti orang yang memang sudah tidak ada. Allah berfirman: 


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا


“Allah tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya” (TQS. al-Baqarah [2]:286).


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS. at-Taghabun [64]:16)


Nabi juga bersabda:


وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“dan jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu maka lakukan sesuai batas kemampuan kalian” (HR. al-Bukhari, no. 6858 dan Muslim, no. 412; dari Abu Hurairah).


Jadi, perintah yang Allah bebankan kepada kita itu wajib kita lakukan, jika kita mampu melakukannya dan mungkin bagi kita untuk mengerjakannya. Dengan demikian, (jika) kita tidak mampu memenuhi kewajiban, yaitu kewajiban mengetahui keberadaan pemilik barang, sehingga kita tidak mampu mengerjakannya, maka kewajiban tersebut tidak lagi wajib atas kita], selesai kutipan pernyataan Ibnu Taimiyyah.


Dengan demikian, untuk masalah yang ada di pertanyaan, jalan keluarnya seperti disebutkan di atas. Ini yang kami rajihkan dalam masalah ini.


Wallâh a’lam wa ahkam.

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *