Pengelola Syirkah(Mudharib).Quote Islami harian by IPLAND

APAKAH PENGELOLA SYIRKAH SECARA MUTLAK TIDAK BOLEH MENGAMBIL KOMPENSASI DARI PEKERJAAN DI SYIRKAH BISNIS YANG DIKELOLANYA ? BAGAIMANA BATASANNYA ? 


Oleh : Developer Property Syariah


TANYA :

Dalam projek bersama paska kelas pembelajaran, biasanya ditindaklanjuti dengan pembuatan projek kelas dengan akad syirkah. Lalu ditetapkan model syirkahnya (yang paling sering adalah mudharabah atau inan), berikut masing masing andil dari para syarik. 


Misal, diantara kesepakatannya adalah syirkah dimulai dari setelah ada lahan, maka siapapun yang mendapatkan lahan tsb, dia berhak mendapatkan komisi sesuai aturan yg disepakati. Kadang, pekerjaan konstruksi tidak dimasukkan ke dalam obyek syirkah, sehingga saat ada syarik pengelola yang mengerjakan pekerjaan tsb (membuat pagar, mengecat dinding, mengaspal jalan, membangun rumah dsb), maka dia boleh dan berhak mendapatkan imbalan atau mengambil keuntungan, apalagi jika syarik tersebut memiliki perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, maka lebih memudahkan dia yang melakukan pekerjaan tersebut daripada diserahkan ke pihak atau perusahaan lain. 


Pertanyaannya, bolehkah syarik pengelola di syirkah tersebut mendapatkan keuntungan dari pekerjaan dalam syirkah yang dikelolanya ? Bagaimana batasannya ? 

 

JAWAB :

Dalam akad apapun, hukum-hukum akad itu berlaku terhadap obyek akadnya. Ruang lingkupnya adalah dalam batasan cakupan obyek akad itu. Hukum-hukum akad itu tidak berlaku terhadap apa yang bukan dalam ruang lingkup obyek akad itu. Begitu pula dalam akad syirkah. Hukum-hukum tentang syirkah berlaku terhadap obyek akad syirkah dan dalam cakupan batasan obyek akad itu. Hukum-hukum akad syirkah itu tidak berlaku terhadap apa yang bukan obyek akadnya dan tidak termasuk dalam cakupan obyek akad syirkah itu.


Obyek akad syirkah adalah ‘amalun mâliyun yakni aktifitas bisnis. Sebagaimana ketentuan akad, obyek akad harus jelas dan tertentu. Demikian juga aktifitas bisnis yang menjadi obyek akad syirkah juga harus jelas dan tertentu.


Kejelasan aktifitas bisnis itu bukan hanya dari sisi apa bisnisnya, tetapi juga harus jelas aktifitas atau cakupan aktifitasnya. Yakni aktifitas bisnis itu harus didefinisikan dengan jelas, cakupannya, batasan-batasannya. 

Jika dikatakan bahwa aktifitasnya bisnisnya adalah perdagangan, maka itu masih belum jelas dan belum tertentu. Sebab perdagangan itu sangat luas baik dari sisi komoditinya, jenis jual belinya, dan lainnya.


Demikian juga kalau dikatakan bahwa bisnisnya adalah kontraktor, developer, event organizer, konveksi, rumah makan, dan semisalnya. Semua itu masih majhûl yakni kurang jelas dan tidak tertentu. Semua itu baru menyatakan jenis bisnis, tetapi belum ada kejelasan definisi, deskripsi dan batasan atau cakupan aktifitas bisnisnya. Meski, adakalanya jenis bisnis itu sudah sekaligus mendeskripsikan cakupan dan batasan aktifitasnya. 


Semua itu penting agar jelas cakupan aktifitas pengelola dalam mengelola bisnis. Dengan itu menjadi jelas, sejauh mana cakupan aktifitas pengelolaan. Sehingga baik pengelola maupun pemodal dapat mengetahui apakah suatu aktifitas itu masih termasuk dalam aktifitas pengelolaan bisnis itu atau sudah berada di luar cakupan aktifitas pengelolaan bisnis.


Bagi pengelola, meski dia boleh saja mempekerjakan orang untuk pekerjaan atau aktifitas yang termasuk dalam cakupan pengelolaan bisnis itu, tetapi pada dasarnya pekerjaan atau aktifitas itu merupakan aktifitas dia sebagai pengelola. Sehingga ketika dia melakukannya sendiri, maka itu adalah bagian dari aktifitas pengelolaan dan dia lakukan dalam kapasitasnya sebagai pengelola. Untuk itu dia tidak boleh mendapat imbalan atas pekerjaan atau aktifitas itu. Sebab sebagai pengelola, haknya adalah bagian dari keuntungan sesuai kesepakatan yang telah disepakati. 


Adapun bagi pemodal, akan menjadi jelas baginya dalam mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban pengelola atas pengelolaan bisnis itu. Juga menjadi jelas baginya untuk menilai apakah pengelola itu telah menelantarkan pengelolaan bisnis, atau tidak optimal bahkan sangat kurang dalam mengelola bisnis, yang tentu saja itu berkorelasi dengan apakah bisnis atau usaha itu akan untung atau rugi. Dengan cara itu, pemodal melindungi kepentingannya dalam syirkah itu. Misalnya, ketika dia melihat pengelola tidak serius atau kurang cakap dalam mengelola bisnis, maka pemodal itu dapat membatalkan atau memfasakh akad syirkahnya dan menarik modalnya. Dan ketika usaha itu merugi, maka juga akan menjadi lebih mudah untuk menentukan apakah pengelola itu harus ikut menanggung kerugian tidak. Jika kerugian itu dipengaruhi atau diakibatkan penelantaran pengelolaan usaha, tentu pengelola itu harus ikut menanggung kerugian.


Di sisi lain, menjadi jelas juga ketika suatu aktifitas sudah di luar cakupan aktifitas pengelolaan syirkah. Jika seseorang yang kebetulan menjadi pengelola syirkah itu melakukan aktifitas itu. Karena tidak termasuk dalam cakupan aktifitas pengelolaan syirkah, maka artinya dia melakukannya bukan dalam kapasitas sebagai syarik pengelola dan tentu saja dia boleh mendapat imbalan atas aktifitas itu. Hal itu asalkan aktifitas itu tidak mengganggu aktifitas pengelolaan syirkah atau bahkan membuatnya menelantarkan pengelolaan syirkah.


Batasan-batasan aktifitas bisnis dan cakupannya itu tentu saja harus disepakati oleh para syarik. Semua itu pada dasarnya merupakan syarat-syarat yang mereka persyaratkan satu sama lain, dalam makna mereka mensyaratkan satu sama lain untuk terikat dengan batasan-batasan itu. Syara’ sendiri tidak mengatur definisi, cakupan dan batasan aktifitas bisnis itu secara fix atau detail, melainkan hanya memberikan ketentuan umum. Yaitu bahwa bisnis atau aktifitas bisnis yang menjadi obyek akad syirkah itu harus jelas dengan kejelasan yang membuatnya seolah seperti barang yang dapat ditunjuk dengan jari dan bisa dikenali serta dibedakan dari lainnya. Adapun detil definisi, deskripsi dan batasannya maka itu diserahkan kepada para syarik yang mengakadkan akad syirkah itu untuk mereka sepakati dan persyaratkan agar mengikat semua syarik. 


Ketentuan dalam hal ini hanya bersifat umum, yaitu seperti yang dituturkan oleh Amru bin ‘Awf al-Muzani bahwa Rasul saw bersabda:


«الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ , إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»


“Kaum Muslim terikat pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR ad-Daraquthni no. 2892, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 11430 dan 114333, ath-Thahawi di Syarhu Ma’âniy al-Atsâr no. 5849)


Aisyah ra. juga menuturkan, Rasul saw bersabda:


«الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ مَا وَافَقَ الْحَقَّ»


“Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka selama sesuai dengan kebenaran” (HR ad-Daraquthni no. 2893, al-Hakim di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn no. 2310, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 14435).


Artinya apa saja boleh dipersyaratkan yakni disepakati untuk mengikat semua, selama tidak menyalahi ketentuan syariah.

Hanya saja, dalam setiap bisnis atau usaha, ada aktifitas yang menjadi bagian integral atau core activity dari pengelolaan usaha, ada juga aktivitas yang bukan menjadi aktivitas inti suatu pengelolaan usaha. Secara umum, aktivitas inti suatu usaha meliputi 4 hal yaitu aktivitas operasional produksi, pemasaran, keuangan dan managemen SDM. Secara spesifik, apa apa saja aktivitas inti dalam suatu usaha, terkadang masing masing jenis usaha memiliki karakter dan cakupan tertentu yang mungkin berbeda dengan usaha lainnya.

Oleh karena itu, batasan aktifitas pengelolaan syirkah menjadi sangat penting untuk disepakati sebelum syirkah dimulai. Sehingga saat ada pengelola yang mengerjakan pekerjaan di syirkah yang dikelolanya bisa dihukumi apakah pekerjaan itu merupakan cakupan obyek akadnya, atau di luar obyek akad yang disepakatinya. Jika pekerjaannya tidak termasuk dalam obyek akad yang disepakati, tentu saja dia boleh mengerjakannya dan mengambil imbalan atas pekerjaan tersebut. Semua itu boleh dilakukan asalkan tidak mengganggu aktifitas inti pengelolaan syirkah tersebut. Dan juga, asalkan keputusan diambil secara wajar, tidak ada konflik kepentingan, yang dapat mempengaruhi keuntungan atau bahkan menjadi faktor merugi.

Oleh karena itu, jika ketentuan di atas diterapkan pada masalah yang ada di pertanyaan, maka mengenai pengelola yang mendapatkan komisi atas akuisisi lahan, kesepakatan itu boleh. Apalagi jika kesepakatan syirkahnya baru diakadkan setelah ada kepastian diperolehnya lahan. Artinya aktifitas mencari lahan itu dilakukan sebelum dia menjadi syarik. Adapun mengenai aktifitas pembangunan, selama hal itu disepakati maka juga boleh. Tentu selama tidak mengganggu pengelolaan syirkah dan tidak ada konflik kepentingan.

Adapun mengenai aktivitas yang merupakan aktivitas utama atau aktivitas integral dan inti (core activity) dari aktivitas bisnis dan pengelolaan usaha, jika dikeluarkan dari cakupan aktivitas pengelolaan maka itu artinya tidak memenuhi ketentuan syirkah secara syar’iy. Inilah yang kami rajihkan dalam masalah ini.[]

Wallâh a’lam wa ahkam

Developer Property Syariah

#RealProject #RealSyariah.Quote Islami harian by IPLAND

 

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *