BAGAIMANA MENDUDUKKAN & MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MUAMALAH ?
BAGAIMANA MENDUDUKKAN & MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MUAMALAH ?
Oleh : Developer Property Syariah
TANYA :
Bagaimana kita mendudukkan perbedaan pendapat dan penilaian atas suatu muamalah ?
JAWAB :
Pertama,
Perbedaan pendapat mengenai suatu muamalah adalah hal yang niscaya dan wajar. Sebab banyak faktor baik yang berkaitan dengan nash syariah maupun terkait dengan masalah dan diagnosis atau memahami masalah, disamping kemampuan keilmuan dan kemampuan berfikir, yang meniscayakan adanya perbedaan pendapat.
Kedua,
Berhadapan dengan berbagai pendapat itu maka seorang muslim ketika akan beramal maka wajib mengambil dan beramal sesuai pendapat yang rajih serta tidak mengambil dan tidak beramal dengan pendapat yang marjuh (lemah).
Pendapat yang rajih itu adalah pendapat yang lebih kuat dalilnya, lebih jelas pemahamannya dan lebih sesuai dengan fakta masalahnya. Jika seseorang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk secara sendiri menilai mana pendapat yang rajih dan mana yang marjuh, dia dapat secara sendiri menilai dan memilih pendapat yang rajih itu. Meski boleh juga dia mengikuti ulama yang lain dalam hal itu.
Adapun jika tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu, maka dalam menentukan pendapat yang rajih itu dapat mengikuti orang lain. Hanya saja dalam menentukan pendapat yang rajih itu, baik sendiri atau mengikuti orang lain, harus berdasarkan al-murajjih (hal-hal yang menentukan kerajihan) yang syar’iy, yaitu tentang kekuatan dalil dan pemahaman tentang dalil, serta pemahaman atas fakta dan kesesuaian dalil atau hukum atas fakta masalah.
Jika mengikuti orang lain maka dalam menentukan siapa yang diikuti haruslah mengikuti ketentuan syar’iy, yaitu yang dipercayai berdasarkan al-a’lamiyah wa at-taqwa (keilmuan dan ketakwaan) termasuk kejelasan atau kejelian memahami dan mendeskripsikan masalah yang dihukumi.
Dalam menentukan kerajihan baik secara langsung atau dengan mengikuti orang lain, tidak boleh berdasarkan faktor suka dan tidak suka atau faktor mana yang lebih mudah dan lebih bermanfaat atau menguntungkan.
Ketiga,
Dalam menyikapi perbedaan pendapat itu dan memilih pendapat yang rajih, maka yang harus dijadikan pegangan adalah seperti ungkapan para ulama “ra`yiy ra`yun shawâbun yahtamilu khatha`an wa ra`yu ghayriy ra`yun khatha`un yahtamilu shawâban -pendapatku adalah pendapat yang shawâb (tepat) meski ada kemungkinan khatha’ (keliru), dan pendapat yang lain adalah pendapat yang khatha’ meski ada kemungkinan shawâb-”.
Jangan sampai prinsip yang dipakai adalah “ra`yiy ra`yun haqqun wa ra`yu ghayriy ra`yun bâthilun -pendapatku adalah haq dan pendapat selainku adalah bathil-“. Dan bahwa semua pendapat itu baik yang rajih maupun yang marjuh, sesungguhnya merupakan pendapat yang islami.
Keempat,
Pendapat rajih yang diambil itu merupakan hukum syara’ bagi orang itu. Begitulah berlaku bagi tiap-tiap orang. Maka ketika menilai pendapat dalam suatu masalah, adalah menilai pendapat itu. Dan itu bukan berarti penilaian atas orang lain yang mengambil pendapat yang berbeda. Misalnya, orang yang berpendapat bahwa suatu muamalah adalah bathil, sementara orang lain menilainya sah, maka jika dia berpendapat hendaknya berpendapat bahwa muamalah itu batil. Dan hendaknya tidak kemudian menilai orang lain yang melakukan muamalah itu telah melakukan muamalah yang batil yakni haram. Begitu pula sebaliknya.
Kenapa demikian ? Sebab orang lain itu mungkin mengambil pendapat yang merajihkan bahwa muamalah itu sah. Begitulah yang dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Betapa banyak perbedaan pendapat diantara mereka, bahkan yang satu mazhab sekalipun, tetapi mereka tetap harmonis. Demikian, semoga bermanfaat.[]
Developer Property Syariah
#RealProject #RealSyariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar